Sejarah Nagari Kapau
Menurut Jurai atau paparan orang - orang tua dahulu, sebelum Nagari Kapau ditempati, disebutkan dalam Tambo Nagari Kapau yang telah disepakati dan disahkan oleh Kerapatan Ninik Mamak Anam Suku pada Tahun 1913, disebutkan bahwa: “Pada masa dahulu, berangkatlah empat kumpulan atau rombongan dari Pariangan Padang Panjang, yaitu: Pertama; Kapau, Kedua; Kurai, Ketiga; Sianok dan Keempat; Koto Gadang, yang berakhir sampai ke batas Agam dengan Tabek Patah dekat Nagari Tanjung Alam. Tiap-tiap rombongan yang berangkat tadi berhenti disuatu tempat dan mengambil tempat-tempat tersebut serta masing-masing rombongan menamainya sebagai berikut:
- Rombongan pertama, yaitu: Urang Kapau, berhenti di sebuah bukit yang tumbuh sebatang kayu kapur besar, yang mereka beri nama BUKIT KAPAU
- Rombongan kedua, yaitu: Urang Kurai berhenti disebuah kampung dan mereka memberi nama Padang Kurai
- Rombongan ketiga, yaitu: Urang Sianok berhenti disebuah kampung dan mereka memberi nama Sianok
- Rombongan keempat, yaitu Urang Koto Gadang berhenti pula disana suatu kampung yang sampai sekarang masih bernama Koto Gadang
Seiring berjalannya waktu dan semakin bertambahnya keturunan dari rombongan Urang Kapau yang mendiami daerah Bukit Kapau, maka tumbuhlah pemikiran untuk mencari daerah baru, guna membuat Nagari. Maka disusun dan diutuslah sebuah kelompok guna mencari tanah yang lebar dan subur untuk membuat Nagari. Kelompok tersebut diketuai oleh Induak Pucuak Datuk Bandaro dari suku Jambak Anam Induak. Perjalanan kelompok tersebut sampai di suatu daerah di dekat Simpang Sungai Janiah yang masih dipenuhi semak belukar dan hutan rimba, yang kemudian daerah tersebut dinamai Koto Jambak.
Setelah beberapa lama mereka tinggal disana yang kampung tersebut mempunyai lahan yang subur untuk bertanam, maka datuak bandaro mengutus salah satu utusannya untuk datang memberi kabar kepada saudaranya yang berada di bukit kapau untuk turun ke tempat mereka itu.
Kemudian datanglah orang suku melayu nan tujuh induak yang dipimpin oleh Datuak Mangkudun, karena telah terbukti tanah tersebut subur dan luas, maka diberi kabarlah sekali lagi kepada urang bukit kapau untuk turun gunung.
Maka turunlah sebagian besar dari mereka urang bukit kapau dan bagi mereka yang tidak percaya masih tetap tinggal disana untuk bertahan hidup. Maka turunlah rombongan urang Suku Tanjuang, Pisang dan Simabua nan tiga induak yang dipimpin oleh Datuak Panduko Basa, rombongan Suku Guci Pili nan enam induak yang dipimpin oleh Datuak Tandi Langik, rombongan Suku Koto nan tigo induak yang dipimpin oleh Datuak Palimo dan rombongan Suku Jambak Kaciak nan dua induak yang dipimpin oleh Datuak Indo Marajo.
Dari kehadiran enam kelompok tersebut yang terdiri dari Suku Jambak, Melayu, Guci Pili, Koto dan Jambak Kaciak yang semuanya berasal dari Bukit Kapau itu pun merambah dan mengolah tanah tempat mereka tinggal kemudian membuat pondok untuk tempat mereka tinggal dan member nama kampuang tersebut, yaitu: Koto Jambak.
Karena mereka telah berkumpul bersama dengan bermacam suku dibuatlah taratak dan taratak tersebut dibuat pintu gerbang dengan nama Pintu Koto, yang mana Pintu Koto tersebut menghadap ke Koto Marapak, di Nagari Ampek Angkek sekarang ini.
Kemudian urang Koto tersebut membuat sebuah ladang yang cukup luas yang dikerjakan bersama-sama. Maka ladang tersebut diberi nama Ladang Nan Laweh atau Ladang Laweh yang ditanami bermacam-macam tanaman. Dan ladang yang tidak bisa ditanami karena tanahnya keras dan liat banyak batu-batuan dangkal yang kemudian ladang tersebut diberi nama Dangkek. Karena Dangkek tanahnya tidak subur, liat dan berbatuan, maka rombongan tersebut pindah berladang ke tempat baru yaitu: Ladang Baru yang kemudian kampung tersebut dinamakan Parak Maru.
Setelah selesai berladang di Parak Maru, mereka terus berpindah ke suatu tempat yang mana ada suatu belukar yang amat panjang yang membelintang dari mudik sampai hilir, yang tidak putus-putusnya, maka dinamailah kampung itu Koto Panjang dan terus ke Korong Tabik dan disana mereka memetik buah Cubadak.
Setelah rombongan itu beristirahat di suatu tempat maka nampaklah oleh mereka sebuah padang yang luas dan bagus. Rombongan tersebut berpikir padang ini bagus untuk melakukan permainan anak nagari seperti sepak raga dan bermain layang-layang, maka dinamakanlah daerah itu Padang Yang Bagus atau Padang Cantiang.
Kemudian mereka menemukankan sebuah batang kayu mariang yang tumbuh diatas tanah ketinggian, maka dinamailah daerah tersebut Guguak Induriang, yang kampung kecilnya bernama Talao.
Dan kemudian rombongan itu duduk-duduk beristirahat dan mereka menghirup bau yang sangat harum dari tanaman pandan yang banyak sekali tumbuh disana. Kemudian mereka membuat sebuah masakan dengan daun pandan yang mengeluarkan aroma yang sangat harum sekali.
Setelah kampung dihuni, alah bakoto, alah bataratak, maka dibuatlah parit - parit yang ditanami aur berduri sebagai pagar nagari untuk menjaga keamanan nagari dari gangguan binatang buas dan penjahat. Karena telah berdirinya rumah gadang, alah batanggo, alah balabuah batapian ditapi batang air tambuo, didirikanlah sebuah balai di tangah urang kapau antara Koto Panjang Hilir dengan Padang Cantiang.
Dan menurut riwayat yang ada pada waktu itu Nagari Kapau terdiri dari 13 Kampung, yaitu: Ladang Laweh, Parak Maru, Dangkek Paninjauan, Koto Panjang, Korong Tabik, Koto Panjang Mudiak dan Hilir, Padang Cantiang, Cingkariang, Induriang, Pandan Banyak dan Koto Panalok. Pepatah mengatakan : “Taratak mulai dibuek, sudah dibuek manjadi koto, sudah koto menjadi kampuang, kampuang manjadi nagari, mangko dinamokan Nagari Kapau”.
Nagari Kapau adalah Nagari Tungga, sedangkan nagari tetangga lainnya memiliki dua sebutan (dua suku kata) atau lebih, umpamanya Kurai Banuhampu, Sianok Koto Gadang, Guguak Tabek Sarojo, Sariak Sungai Pua, Gaduik Tilatang dan Salo Koto Baru, tetapi kapau tidak.
Setengah riwayat menyebutkan bahwa Kapau mempunyai seorang pahlawan yang termashur namanya, yaitu: Tuangku Mansiangan, pelaku Perang Paderi sekitar Tahun 1821. Mansiangan adalah nama tempat kediaman yang dipanggil urang Kapau, yaitu: Tuanku Kapau yang merupakan jajaran Kabinet dari Tuanku Imam Bonjol.
Diluar daerah Kapau, Tuanku Kapau disebut Tuanku Mansiangan yang mati terbunuh dan makamnya berada di Pandan Banyak Nagari Kapau. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Pemerintah Nagari Kapau telah tercatat dimulai sejak Tahun 1901 dengan dipimpin oleh Angku Laras/Lareh, yaitu Dt. Rajo Labiah yang memimpin hingga tahun 1913. Ketika berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang diaplikasikan Tahun 1983, Nagari Kapau dibagi menjadi 3 (tiga) desa, yaitu: Desa Induring, Desa Pandan Basasak dan Desa Pasia.
Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberi peluang kepada daerah untuk mengatur pemerintahan terdepan sesuai dengan kreatifitas masing-masing. Untuk Provinsi Sumatera Barat, sistem pemerintahan terdepan yang diterapkan yaitu: Pemerintahan Nagari yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 yang telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari, dimana pelaksanaan Pemerintahan Nagari berlandaskan pada filosofi: “Adat Basandi Syara’ dan Syara’ Basandi Kitabullah”.
Komitmen masyarakat di Kabupaten Agam untuk “Babaliak ba Nagari”, dipertegas dengan Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 31 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari yang telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 12 Tahun 2007, sehingga menjadikan Nagari Kapau yang tadinya terbagi menjadi 3 (tiga) buah desa, menjadi 1 (satu) Nagari dengan 12 buah Jorong, bagian dari Nagari-Nagari yang ada di Kabupaten Agam.
Daftar Urutan Nama Kepemimpinan/Walinagari Kapau dari Tahun 1901 s/d Sekarang :
